Hari ini sidang yang kesekian kalinya kasus kontu untuk 2 terdakwa. Pak La Galapu dan La Ndolifi. Saksi dari Pemda tidak ada yang datang, sehingga kami putuskan untuk menunda esok harinya. Kondisiku juga tidak begitu fit karena lagi datang bulan.
Sebelum pulang kusempatkan ke sel kejaksaan untuk mengabari para terdakwa tentang penundaan sidang. Mereka belum makan rupanya karena cuaca dalam sel sangat panas sehingga orang kehilangan selera makan. aku minta mereka dikeluarkan dari sel dan kutemani mereka makan dikantin bersama keluarga mereka.
Kami ngobrol tentang persidangan terdakwa yang lain, tentang saksi-saksi, tentang lamanya mereka ditahan, dan tiba-tiba……Pak ndolifi, salah satu terdakwa itu menangis….katanya “apa salah saya ?”
…………………………………………………………………………………………..
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Ku kuatkan hatinya, minta dia tabah dan bertahan, karena kita memang harus bertahan, harus melawan, walau kita tak tau, seberapa besar kesempatan dan kekuatan untuk melawan……
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Ketika persidangan pertama aku bertemu dengan para terdakwa, dengan Pak La Ndolifi, aku begitu tak percaya, kenapa tuhan tidak berpihak pada orang-orang jujur seperti mereka, seperti Pak Ndolifi……
Masih jelas dalam ingatanku, ketika menatap matanya yang jujur, yang lugu, yang sangat berharap dengan bantuan kami para pengacara untuk mendampinginya ….
Masih jelas terngiang dalam telingaku, ketika ketua majelis hakim bertanya dalam persidangan, apakah dia mau didampingi oleh pengacara ? dan dia secara tegas menjawab, mau. kami, katanya mau bantu mereka terdakwa kasus kontu.
Aku jadi trenyuh……dia sangat pasrah dengan posisinya, pasrah dengan keadaannya……pasrah dengan perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pemimpin mereka, pasrah dengan permainan para provokator nasional yang katanya akan membantu mereka untuk mendapatkan haknya, untuk mendapatkan kesejahteraannya, untuk membantu melawan kekuasaan yang sewenang-wenang didaerahnya, untuk mempertahankan kebunnya, tanamannya……pasrah pada tuhannya, yang mungkin saat ini mulai dia ragukan keeradaannya……
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Ketika keinginanku untuk meninggalkan daerah ini, persidangan ini, para terdakwa, karena masalah pendanaan (baca makan, biaya berobat, komunikasi, transportasi, ATK, pembalut, obat dan kebutuhan lainnya) yang tidak jelas dari eknas walhi dan ed walhi (itu yang kupahami).
Kujelaskan sedikit ---------- saat kasus kontu akan disidangkan, kami dari LBH Makassar sepakat aku yang dikirim kesini untuk stay selama kasus kontu disidangkan (diperkirakan 3 bulan sejak April) dan segala pendanaan “urusan sidang dan perut” jadi tanggungjawab Eknas walhi (itu informasi yang kami terima).
Tapi kenyataan sangat jauh dari apa yang diinformasikan kepada kami, pada waktu memikirkan proses sidang, kami juga harus berpikir bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai “urusan sidang dan perut” selama stay disini. Kalau sudah begini, bukan hanya pertanyaan “dimana tuhan” yang muncul, “tapi dimana kalian, para mucikari kasus kontu ? dimana kalian yang katanya mau membantu kasus kontu, yang nama-namanya tercantum dalam surat pernyataan sikap atau surat dukungan?” “dimana provokator yang aku tau namanya dari warga sini “Erwin” karena 2 hari setelah dia pulang kejakarta sehabis memaki-maki petinggi muna, 14 warga ditangkap dan ditahan hingga sekarang ………????” Bahkan masih ada yang diburu polisi---------------------
Aku akhirnya memilih untuk tetap bertahan mendampingi persidangan para terdakwa itu. Ah, andai aku gak pernah melihat tatapan pasrah dan lugu yang penuh harap itu……andai aku belum ketemu keluarga mereka……andai gak pernah kubaca sms seorang kawan yang menghiburku “tenang aja sayang, jangan bosan, dipundakmu tertompang nasib orang kontu”……mungkin aku sudah balik ke makassar atau jalan-jalan keliling daerah……agar ada pundak-pundak yang lain datang menggantikanku disini….
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Memang sangat enak memprovokasi warga dan mengatakan “ini resiko dari perjuangan, bung”, ketika ada yang menjadi korban. Seandainya perjuangan itu tidak dibiarkan begitu saja, tidak dibiarkan menjadi sebuah proses kriminalisasi hingga warga ditahan berbulan-bulan, seandainya perjuangan itu bukan cikal-bakal pembuatan sebuah proposal “kontu”, pembuatan buku yang hingga saat ini, masih kulihat menumpuk disudut ruangan……
Ah, seandainya buku-buku eknas tersebut bisa mengeluarkan para terdakwa dari tahanan, bisa memberi makan keluarga terdakwa, bisa membuka ‘matahati’ pemda muna, bisa membantu warga kontu mempertahankan kebunnya, bisa berubah menjadi tameng untuk menangkis tongkat pamong praja yang siap menghantam kepala…….atau…… bisa menjadi makanan yang bergizi sehingga kami tidak perlu makan indomie atau wafer tango saat pulang sidang sore hari dengan kondisi gemetar karena menahan lapar……
Hmm, Aku jadi ingat sms seorang kawan, ketika jumat sore aku main ke Radio Getar Raha, “Rani, saya lagi dengar radio, tolong minta putarkan lagu “the floating lawyer” dan “eknas trouble makers”, hahahahahahaha….itu bagian dari kelakar yang membuatku merasa terhibur.
Dan dikesempatan yang lain juga dia meng-sms ku “dikapal tadi diputar film tentang wanita seperti rani yang dikirim ke Turki untuk “mission possible” dan sukses. Tapi di film itu tidak pakai mucikari seperti Eknas-ED Walhi” hihihihihihihihhihihihihi………
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Ketika pertama menatap mata lugu, pasrah dan penuh harap Pak La Ndolifi, malamku jadi tidak nyenyak. aku hanya bisa menangis sambil bertanya “apa yang kau lakukan tuhan?” “Kenapa kau tidak adil terhadap mereka?”
Mereka hanya orang-orang yang berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, hanya berkebun untuk memberi makan anak dan cucu mereka, hanya orang-orang kecil yang tidak punya kemampuan untuk melawan dan menentukan takdir mereka……
Maafkan aku tuhan, mungkin aku tidak bisa menerima keberadaanmu lagi, kau bukan tuhan seperti yang kubaca di kitab, bukan tuhan yang diceritakan para pembual-pembual di gereja sewaktu aku masih kecil, bukan tuhan yang dibanggakan kawanku, frida, yang lewat kata-katanya kupilih memaafkanmu ketika kau membuatku terluka dengan semua ketidakadilanmu waktu lalu, kenapa mesti mempercayaimu padahal kau sendiri tidak bisa berbuat apa-apa untuk orang-orang seperti La Ndolifi, La Galapu, La Ode Ntero, La Kolo……
Aku sangat terluka dengan pertanyaan dan airmata itu, “Dimana Tuhan ?”
Tidak ada dimana-mana. Dan berhentilah mempercayai dongeng tentang tuhan, RANI !
Raha, 16 Mei 2006
1 komentar:
senang juga pernah mendengarkan secara langsung proses pembacaan puisi ini...dalam remang yang sering sekali diselingi tawa terutama karena faktor K, he...he...he....
apa kabar, Ka Rani?
Posting Komentar